Rabu, 20 Agustus 2008

Bahan SOCA (2005 Ayo Kita bisa, Semangat !!!)..Selamat Berjuang SOCA 2005, bantu teman2 kita juga yang belum bisa ikut SOCA perdana yah...

Osteoartritis

Osteoartritis (OA, dikenal juga sebagai artritis degeneratif, penyakit degeneratif sendi), adalah kondisi di mana sendi terasa nyeri akibat inflamasi ringan yang timbul karena gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi.

Pada sendi, suatu jaringan tulang rawan yang biasa disebut dengan nama kartilago biasanya menutup ujung-ujung tulang penyusun sendi. Suatu lapisan cairan yang disebut cairan sinovial terletak di antara tulang-tulang tersebut dan bertindak sebagai bahan pelumas yang mencegah ujung-ujung tulang tersebut bergesekan dan saling mengikis satu sama lain.

Pada kondisi kekurangan cairan sinovial lapisan kartilago yang menutup ujung tulang akan bergesekan satu sama lain. Gesekan tersebut akan membuat lapisan tersebut semakin tipis dan pada akhirnya akan menimbulkan rasa nyeri.

Penyebab

Penyebab osteoartritis bermacam-macam. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara osteoarthritis dengan reaksi alergi, infeksi, dan invasi fungi (mikosis). Riset lain juga menunjukkan adanya faktor keturunan (genetik) yang terlibat dalam penurunan penyakit ini.

Pengobatan

Osteoartritis tidak dapat diobati tapi rasa nyeri yang diderita oleh penderita penyakit ini dapat dikurangi dengan berbagai macam cara seperti pengompresan atau penyuntikan cairan sinovial ke bagian sendi.

Pencegahan

Pencegahan osteoartritis dapat dilakukan dengan cara mengonsumsi makanan yang bergizi.

Beberapa suplemen makanan juga dapat digunakan untuk mencegah penyakit ini. Beberapa suplemen yang umum digunakan antara lain adalah glukosamin dan kondroitin.

Glukosamin

Glukosamin adalah molekul gula amino yang biasa terdapat pada kulit krustasea (udang-udangan), artropoda, dan dinding sel cendawan. Di Indonesia, glukosamin dapat diperoleh dari langsung dari suplemen makanan komersial atau minuman susu tersuplementasi.

Kondroitin

Kondrotin sendiri adalah suplemen makanan yang biasa digunakan bersama glukosamin. Ia merupakan senyawa rantai gula bercabang yang menyususun tulang rawan. Di Indonesia, kondroitin dapat diperoleh dari langsung dari suplemen makanan.

Osteoartritis (OA) dan artritis reumatoid (RA)

PENDAHULUAN

Osteoartritis (OA) dan artritis reumatoid (RA) merupakan jenis penyakit reumatik yang sering dijumpai dalam praktek.

Seperti diketahui hingga kini dikenal lebih dari 100 jenis penyakit reumatik, tetapi hanya beberapa di antaranya yang sering dijumpai, termasuk kedua penyakit yang tersebut di atas.

Dahulu dua jenis penyakit yang berbeda ini sering dianggap sebagai satu penyakit, dan sering terjadi salah diagnosis sehingga merugikan si penderita. Di samping itu kedua penyakit ini dapat ditemukan bersama-sama/sekaligus pada seorang pasien, sehingga makin membingungkan dokter pemeriksa.

Pada makalah ini akan dijelaskan secara praktis bagaimana membedakan kedua jenis penyakit ini dari segi patogenesis, gambaran klinik dan penatalaksanaan.


PERBEDAAN DALAM PATOGENESIS

Patogenesis keduanya jelas berbeda. OA yang dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif mempunyai kelainan primer pada rawan sendi (cartilage),, sedangkan RA mempunyai kelainan primer pada sinovia. Secara mudah dapat dijelaskan bahwa pada OA, proses degeneratif pada awalnya menyebabkan perubahan biokimiawi pada rawan sendi yang akhirnya menyebabkan integritas rawan sendi terganggu, sehingga akan terjadi penipisan rawan sendi sampai akhirnya rawan sendi habis. Perubahan dan awal sampai akhir berlangsung sangat lambat, dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk tercapainya stadium akhir yang ditandai dengan deformitas sendi. Gejala inflamasi sendi tidak mendominasi perjalanan penyakit, inflamasi baru tampak bila terjadi pelepasan serpihan rawan sendi ke dalam rongga sendi.

Pada RA perubahan patologik yang menonjol ialah inflamasi sinovia (sinovitis). Penyebab sinovitis ini belum diketahui dengan pasti, tetapi faktor imunologik sangat berperan. Akibat sinovitis akan terjadi keadaan:

1) Dilepaskannya berbagai macam komponen destruktif akibat proses inflamasi ke dalam rongga sendi yang dapat mengakibatkan kerusakan rawan sendi.

2) Terjadi hiperplasi jaringan granulasi akibat sinovitis, Sehingga menebal dan membentuk pannus. Pannus ini sangat destruktif, akan menyebabkan pula kerusakan rawan sendi.

Akibat kedua keadaan tadi maka gejala inflamasi sendi akan mendominasi perjalanan penyakit, penyakit sangat progresif dan dalam waktu singkat sudah terjadi deformitas sendi.

Dengan mengenal patogenesis kedua penyakit tersebut sebenarnya secara kasar dengan segera dapat dibedakan, tetapi pada beberapa keadaan, terutama pada stadium awal, terdapat kendala untuk membedakannya; dengan demikian diperlukan pengamatan klinik, laboratorik dan radiologik yang lebih cermat.

PERBEDAAN GAMBARAN KLINIK

1) Umur, jenis kelamin, onset penyakit

OA biasanya dimulai pada usia sekitar 50 tahun, walaupun kadang-kadang dapat ditemukan pada usia yang lebih muda, sedangkan onset penyakit RA umumnya lebih muda yaitu sekitar 30-50 tahun, walaupun tidak jarang baru dijumpai pada usia lebih tua. Kedua penyakit lebih sering ditemukan pada wanita, tetapi pada RA wanita lebih dominan dengan perbandingan wanita : pria = 3: 1.
Onset kedua penyakit terjadi secara bertahap, makin lama makin berat, RA biasanya berjalan lebih progresif sedangkan OA berlangsung lebih lambat.

2) Keluhan penderita

Sebagaimana halnya dengan penyakit reumatik pada umumnya, maka keluhan penderita pada kedua penyakit tersebut meliputi nyeri sendi, kaku sendi, bengkak sendi dan gangguan fungsi. Pada OA nyeri biasanya dangkal (dull-pain), penderita mengeluh linu dan pegal; sedangkan pada RA nyeri terasa lebih tajam dan berat (sharp-pain). Penderita RA biasanya lebih cepat pergi ke dokter karena nyerinya yang lebih hebat, sedangkan penderita OA biasanya terlebih dahulu berusaha mengobati sendiri misalnya dengan jamu, diurut atau makan obat bebas.

Pada OA nyeri paling berat pada malam hari, pada pagi hari masih nyeri tetapi lebih ringan dan membaik pada siang hari. Pada RA nyeri paling dirasakan pada pagi hari disertai kaku sendi, membaik pada siang hari dan sedikit lebih berat pada malam hari.

Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, lebih terasa pada pagi hari dan berkurang setelah digerak-gerakkan, kaku pagi hari (morning stiffness) pada RA terasa lebih berat dan umumnya berlangsung dalam waktu yang lama (lebih dari 1 jam), sedangkan pada OA berlangsung ringan dan singkat, umumnya kurang dari 30 menit.

Bengkak sendi dapat terjadi pada kedua penyakit, tetapi pada RA biasanya lebih menonjol akibat pembengkakan jaringan lunak (soft tissue swelling) dan sinovitis, sedangkan pada OA terjadi bila ada inflamasi (akibat pelepasan serpihan rawan sendi ke rongga sendi) atau akibat efusi sendi. Gangguan fungsi terjadi akibat inflamasi atau akibat deformitas sendi yang dapat terjadi pada kedua penyakit.

Keluhan sistemik seperti demam, malas, kelelahan, kelemahan otot dan penurunan berat badan hanya dijumpai pada penderita RA.

3) Pemeriksaan jasmani dan sendi yang terserang

Pemeriksaan jasmani pada OA mendapatkan tanda radang yang tidak nyata (kecuali bila ada inflamasi), tulang sekitar sendi tampak membesar (bony enlargement), nyeri gerak, krepitus (bunyi gemeretak bila sendi digerakkan) dan pada stadium lanjut dapat ditemukan deformitas atau subluksasi.
Pada RA umumnya didapatkan tanda inflamasi yang nyata, nyeri tekan, pembengkakan jaringan lunak (soft-tissue swelling), sendi terabapanas, terbatasnyagerak sendi, sendi yang terserang bilateral simetris, atrofi otot sekitar sendi dan pada stadium lanjut terjadi deformitas yang khas dari subluksasi. Pembengkakan sendi PIP membenikan gambaran fusiform atau spindle shape.

Dengan melihat sendi yang terserang maka dapat dibedakan pada OA ialah sendi Distal Interfalang (DIP), Proksimal Interfalang (PIP), Metakarpofalangeal I (MCP I); pada kaki yaitu Metatarsofalangeal I (MTP I) dan lutut, pinggul, vertebra lumbal dan servikal. Sedan pada RA, maka sendi DIP tidak pernah terserang, yang terserang ialah sendi PIP, MCP, pergelangan tangan, siku, bahu, kaki (MTP dan sendi subtalar), pergelangan kaki, lutut, pinggul dan vertebra servikal (hanya Cl dan C2).

Karena beberapa sendi merupakan predileksi yang sama, maka pada stadium awal agak sukar membedakannya, secara gampang dapat dikatakan RA menyerang lebih banyak sendi, simetris dan tanda inflamasi sendi lebih menonjol.

Deformitas sendi pada RA lebih cepat terjadi, sedangkan pada OA lebih lambat. Beberapa deformitas khas untuk RA, misalnya pada jari tangan didapatkan swan-neck-finger, jari boutonniere dan deviasi ke arah ulnar (ulnar deviation) dan atrofi otot interossei. Sedangkan pada OA dapat ditemukan pembentukan osteofit pada medial sendi DIP yang disebut nodus Heberden dan pada sendi PIP disebut nodus Bouchard, dan kadang-kadang membenkan gambaran deformitas snake-like.

4. Manifestasi ekstraartikuler

Keadaan ini merupakan gangguan perubahan yang tenjadi di luar sendi yang sering dijumpai pada penyakit sendi. Pada OA tidak pernah ditemukan adanya manifestasi ekstraantikuler, sebaliknya pada RA maka keadaan ini sering dijumpai. Manifestasi esktraantikuler pada RA tersebut antara lain nodul reumatoid di kulit (nodus subkutan), nodul di jantung dan paru, vaskulitis, episkienitis, miositis, limfadenopati, sindrom Felty dan sindrom Sjogren.

PERBEDAAN GAMBARAN LABORATORIK

OA umumnya bukan merupakan penyakit inflamasi sistemik , sehingga gambaran laboratoniknya dalam batas normal. Laju endap darah tidak pernah meningkat, cairan sendinya menunjukkan gambaran yang normal. RA menupakan penyakit inflamasi sistemik, sehingga didapatkan peninggian LED, anemia ringan. Faktor reumatoid positif dan cairan sendi menunjukkan gambaran inflamasi.


PERBEDAAN GAMBARAN RADIOLOGI

Pemeriksaan radiologik dapat membantu membedakan kedua penyakit ini, tetapi sulit karena pada stadium awal belum ditemukan perubahan. Perubahan radiologik pada OA lebih menunjukkan adanya perubahan degenenatif yang meliputi pembentukan osteofit pada tepi sendi, sklerosis tulang subkondral, pembentukan kista dan penyempitan celah sendi.

Pada RA stadium awal ditemukan adanya pembengkakan jaringan lunak dan osteoporosis subkondnal (juxta-artikuler). Pada stadium lebih lanjut ditemukan gambaran permukaan sendi yang tidak nyata akibat enosi sendi, penyempitan celah sendi, subluksasi dan akhirnya ankilosis sendi.

PERBEDAAN TERAPI

Sebenarnya prinsip penatalaksanaan semua penyakit sendi hampir sama yaitu meliputi:

1) Proteksi sendi

2) Diet

3) Medikamentosa

4) Rehabilitasi

5) Pembedahan

6) Psikoterapi

Dengan demikian penatalaksanaan RA prinsipnya sama pula, hanya ada kekhususan tertentu.

Penggunaan medikamentosa pada penyakit reumatik dapat dibagi dalam:

1. Obat analgetik

2. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

3. Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD)

4. Kortikosteroid sistemik dan suntikan intra-artikuler.


Prinsip penggunaan analgetik dan OAINS pada OA dan RA adalah sama. Obat ini berguna untuk menekan nyeri dan inflamasi, tetapi tidak dapat menghentikan perjalanan penyakit OA dan RA, jadi lebih bersifat simptomatik. Walaupun demikian obat ini masih diperlukan karena dapat mengurangi keluhan penderita sehingga tetap dapat melakukan aktifitas sehari-hari. Penderita RA umumnya lebih sering dan lebih banyak menggunakan obat ini karena keluhan inflamasi sendinya lebih menonjol, dengan demikian efek samping juga lebih sering dijumpai.

Hingga saat ini DMARD baru ditemukan untuk penderita RA. Untuk OA belum ditemukan obat yang dapat menekan perjalanan penyakitnya. DMARD dapat menekan perjalanan penyakit RA sampai tahap remisi, penderita selama beberapa waktu dapat bebas dari keluhan inflamasi sendi tanpa menggunakan obat analgetik atau OAINS, DMARD membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar 6 bulan, agar dapat mencapai efek yang diharapkan, oleh karena itu pada tahap awal kombinasi DMARD dengan OAINS sangat dianjurkan. DMARD yang sering digunakan untuk RA ialah Hidroksiklorokuin, Garam emas, D-pennicilamin, salazopirin dan obat imunosupresif.

Kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk penderita OA, karena lebih banyak efek samping dan efek terapi yang diharapkan. Pada RA, kortikosteroid sistemik ternyata tidak dapat menghentikan progresifitas penyakit, sehingga penggunaannya sebaiknya dibatasi, hanya bersifat simptomatik saja.

Penggunaan kortikosteroid hanya pada kasus berat, yang tidak responsif dengan OAINS dan yang mempunyai kontraindikasi mutlak dengan OAINS. Pada kasus berat yang ditandai dengan demam tinggi, anemia, berat badan menurun dengan cepat, neuropati, vaskulitis, perikarditis, pleuritis, skieritis dan sindrom Felty biasanya diberikan dosis tinggi, yang segera diturunkan bertahap bila gejala berkurang. Pada penderita yang tidak responsif dengan OAINS, maka dosis yang diberikan biasanya dosis rendah : metilprednisolon 5-7,5 mg/hari.

Suntikan kortikosteroid intraartikuler dapat dipertimbangkan pada penderita RA dan OA yang pada 1-2 sendinya masih tetap meradang, pemberian tidak boleh terlalu sering dan hati-hati pada sendi penopang berat badan.

KESIMPULAN

Osteoartritis dan Artsitis Reumatoid merupakan dua penyakit yang berbeda, walaupun keduanya memberikan gejala yang hampir sama. Kedua penyakit ini mempunyai perjalanan penyakit, penatalaksanaan dan prognosis yang sangat berbeda, Sehingga pengenalan penyakit ini dengan baik akan menghindari pengobatan yang kurang tepat, baik berlebihan (overtreatment) atau kurang (undertreatment).

SCHIZOPHRENIA


Schizophrenia merupakan bentuk psikosa yang dijumpai dimana- sejak dulu namun pengetahuan kita tentang sebas musaban dan patogenesisnya sangat kurang.

Kraepelin(1856-1926) ialah seorang kedokteran jiwa di Munich dan ia mengumpulkan gejala-gejala dan sindroma itu, digolangkannya ke dalam satu kesatuan yang dinamakan : demensia prekox.

menurut Kraepelin pada penyakit ini terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya, sebab itu dinamakan demensia (kemunduran inteligensi) prekox (muda, sebelum waktunya).

ETIOLOGI
1. Keturunan : Adanya faktor keturunan yang menentukan timbulnya skhizofrenia. buktinya adalah penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skhizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri : 0,9-1,8%, saudara kandung : 7-15%, bagi anak dengan salah salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%, bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%, bagi kembar dua telur : 2-15%, bagi kembar satu telur : 61-86%.
Potensi untuk mendapatkan skizofrenia diturunkan melalui gen yang resesif, potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi skizofrenia atau tidak.

2. Endokrin : Dulu dikira skizofrenia disebabkan oleh suatu ganguan endokrin. Teori ini dikemukakan dengan sering timbulnya skizofrenia pada waktu puberitas, waktu kehamilan atau pierium dan waktu klimakterium, tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan.

3. Metabolisme : Karena ganguan metabolisme, penderita skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat. Ujung extremitas agak sianotis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun.

4. Susunan saraf pusat : Penyebab skizofrenia karena kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diensefalon atau kortex otak. Tetapi kelainan patologis yang di temukan mungkin disebabkan oleh perubahan-perubahan postmortem atau artefak pada waktu membuat sediaan.
Teori-teori itu dimasukan ke dalam kelompok teori somatogenik, teori yang mencari penyebab skizofrenia dalm kelainan badaniah.

5. Teori Adolf meyer : Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit badaniah, Meyer mengakui bahwa suatu kontitusi yang inferior dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia.

6. Teori Sigmund Freud : Bila kita memakai formula freud, maka pada skizofrenia terdapat :
- Kelemahan Ego, dapat timbul karena psikogenik ataupun somatik.
- Superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan id yang berkuasa serta terjadi suatu regesi ke fase narsisme.
- Kehilangan kapasitas untuk pemindahan sehingga terapi psikoanalitik tidak mungkin.

7. Eugen Bleuler : Bleuler mengajukan supaya lebih baik dipakai istilah "skizzofrenia", karena nama ini dengan tepat sekali menonjolkan gejala utama penyakit in, yaitu jiwa yang terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir, perasaan dan perbuata (schizos= pecah-belah atau bercabang, phren= Jiwa).
Bleuler membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok :
a. Gejala-gejala primer :
- ganguan proses pikiran
-ganguan emosi
-ganguan kemauan
-otisme
b. Gejala-gejala sekunder
- Waham
- Halusinasi
- Gejala kattatonik atau ganguan psikomotorik yang lain

8. Teori lain yang menganggap skizofrenia sebagai suatu sindroma yang disebabkan keturunan, pendidikan ang salah, mladapsi, tekanan jiwa, penyakit badaniah.

9. Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosomatik, gejela-gejala pada hanya sekunder karena gangguan dasar yang psigenik, atau merupakan manifestasi somatik dari ganguan psikogenik.
Kelompok ini adalah teori psikogenik, skizofrenia dianggap sebagai suatu gangguan fungsional dan penyebab utama ialah konflik, stres psikologik dan hubungan antar-manusia yang mengecewakan.


GEJALA-GEJALA
Ada 2 Kelompok menurut Bleuler yaitu Primer dan sekunder.

Gejala-gejala Primer :
1. Ganguan Proses pikiran ( bentuk, langkah dan isi pikiran). pada skizofrenia inti ganguan memang terdapat pada proses pikiran.

2. Ganguan afek dan emosi : Ganguan ini pada skizofrenia mungkin berupa :
- Parathimi : apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah.
- Paramimi : penerita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis.

3. Ganguan kemauan : Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai kelemahan kemauan. mereka tidak mengambil keputusan, tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan.
Negativisme : sikap atau perbuatan yang negatif atau berlawanan terhadap suatu permintaan.
Ambivalensi kemauan : menghendaki 2 hal yang berlawanan pada waktu yang sama.
Otomatisme : penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau oleh tenaga dari luar, sehingga ia melakukan sesuatu secara otomatis.

4. Gejala psikomotor : Disebut juga dengan gejala-gejala katatonik. Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan ganguan kemauan. Bila gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang luwes atau agak kaku.

Gejala-gejala Sekunder :
1. Waham : Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizar. Tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya merupakan fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapppun.

2. Halusinasi : Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal in merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain.


Seorang Penderita dapat digolongkan menjadi :
1. Skizofrenia simplex : sering timbul pertama kali pada masa puberitaas. Gejala utamanya adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Ganguan proses berfikir biasanya ditemukan, waham dan halusinasinya jarang sekali ada.

2. Jenis hebrefenik : Permulaannya perlahan-lahan atau sebakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. gejala yang menyolok ialah : ganguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi.

3. Jenis katatonik : Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, biasanya akut serta diahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah katatonik atau stupor katatonik.

a. Stupor Katatonik : Penderita tidak menunjukkan perhatian sama sekali pada lingkungannya. Gejala-gejalanya :
- Mutismee, kadang-kadang dengan mata tertutup
- Muka tanpa mimik
- nNegativisme : bila diganti posisinya penderita menentang.
- Terdapat grimas dan katalepsi.
b. Gaduh gelisah katatonik : Terdapat hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai dengan emosi dan rangsangan dari luar.

4. Jenis paranoid : Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain dalam jalannya penyakit. Jenis ini mulai sesudah umur 30 tahun. Penderita mudah tersinggung, mudah menyendiri, agak congkak dan kurang percaya pada orang lain.

5, Episoda skizofrenia akut ; Timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam keadaan mimpi Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah, semuanya seakan-akan punya suatu arti yang khusus baginya (disebut keadaan oneiroid).

6. Skizofrenia residual : Dengan gejala-gajale Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia.

7. Jenis skizo-afektif : Disamping gejala-gejalanya yang menonjol secara bersamaan juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa defek tetapi mungkin juga timbul lagi sering.


DIAGNOSA DAN DIAGNOSA BANDING

Menurut Bleuler diagnosa boleh dibuat jika terdapat gangguan-gangguan primer dan disharmoni pada unsur-unsur kepribadian, diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder.

Kut Schneider munyusun 11 gejala dan berpendapat diagnosa boleh dibuat jika ada gejala kelompok A dan kelompok B, dengan syarat kesadaran penderita tidak menurun.

A. Halusinasi Pendengaran.
1. Pikirannya dapat didengar sendiri
2. Suara-suara yang sedang bertengkar.
3. Suara-suara yang mengomentari perilaku penderita.

B. Gangguan Batas Ego.
4. Tubuh dan gerakan penderita dipengaruhi oleh kekuatan dari luar.
5. Pikirannya diambil keluar.
6. Pikirannya dipengaruhi orang lain.
7. Pikirannya diketahui orang lai.
8. Perasaannya dibuat orang lain.
9. Kemauannya dipengaruhi orang lain.
10. Dorongannya dikuasai orang lain.
11. Persepsi yang dipengaruhi oleh waham.

Kusumanto Setyonegoro membuat diagnosa dengan memperhatikan gejala-gejal 3 koordinat, yaitu :

1. Intinya Organobiologik, yaitu : otisme, gangguan afek dan emosi, gangguan asosiasi, ambivalensi.

2. Intinya Psikologik, yaitu : gangguan pada cara berfikir yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kepribadian, dengan memperhatikan perkembangan ego.

3. Intinya Sosial, yaitu : gangguan pada kehidupan sosial penderita yang diperhatikan secara fenomenologik.

Skizofrenia simplex kadang perlu dibedakan dari gangguankepribadian, dan jenis hebefrenik dari retardasi mental. Skizofrenia paranoid tidak sukar dibedakan dari reaksi paranoid akut dan kadang dari kepribadian paranoid dan obsesi yang berat. Episoda skizofrenia akut dan jenis gaduh-gelisah katatonik hampir serupa dengan gaduh-gelisah reaktif.

PROGNOSA

Dulu bila diagnosa dibuat, maka tidak harapan lagi bagi penderita, bahwa kepribadiannya selalu menuju kemunduran mental. Dan bila seorang dengan skozofrenia kemudian menjadi sembuh, maka diagnosanya harus diragukan.

Sekarang dengan pengobatan modern, bahwa bila penderita datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh.namun mereka harus sering diperiksa dan diobati.

Faktor-faktor untuk menetapkan prognosa :
1.Kepribadian Prepsikotik : bila skizoid dan hubungan antar manusia kurang memuaskan, maka prognosa lebih jelek.

2.Bila skizofrenia timbul karena akut, maka prognosanya lebih baik daripada penyakit itu mulai secara perlahan.

3.Jenis : prognosa jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Penderita-penderita ini sering sembuh dan kembali ke pribadian prepsikotik

4.Umur : makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosanya.

5.Pengobatan : makin lekas diberi pengobatan, makin baik prognosanya.

6.dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres psikologik, maka prognosanya lebih baik.

7.Faktor keturunan : prognosa menjadi lebih berat bila didalam keluarga terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.


PENGOBATAN

Pengobatan harus secepat mungkin karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan yang lebih besar bahwa penderita menuju ke kemunduran mental.

1.Farmakoterapi
Neroleptika dengan dosis efektif rendah lebih bermanfaat pada dengan skizofrenia yang menahun. Pada penderita paranoid trifluoperazin lebih berhasil. Dengan fenotiazin biasanya waham dan halusinasi hilang dalam waktu 2-3 minggu. Bila tetap masih ada, maka penderita tidak begitu terpengaruh dan menjadi lebih keoperatif.

Setelah gejala-gejala menghilang, maka dosis dipertahankan selama beberapa bulan, jika serangan itu baru pertama kali. Jika serangannya lebih dari satu kali, maka setelah gejala-gejala mereda, obat diberi terus selama satu atau dua tahun.

Pasien dengan skizofrenia ang menahun, neroleptika diberi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik turun sesuai dengan keadaan pasien.

2.Terapi Elektro-konvulsi (TEK)
Cara bekerjanya elektrokonvulsi belum diketahui dengan jelas. Terapi konvulsi dapat memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita. Akan tetapi terapi tidak dapat mencegah serangan yang akan datang.

Bila dibandingkan dengan terapi koma insulin, maka dengan TEK lebih sering terjadi serangan ulang. Tapi terapi TEK lebih mudah diberikan, dapat dilakukan secara ambulant, bahaya lebih kurang, lebih murah dan tidak memerlukan tenaga khusus.

3.Terapi Koma Insulin
Meskipun pengobatan ini tidak khusus, tapi jika diberikan pada permulaan penyakit, hasilnya memuaskan. Presentasi kesembuhan lebih besar bila dimulai dalam waktu 6 bulan sesudah penderita jatuh sakit.

4.Psikoterapi dan Rehabilitasi
Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisa tidak membawa hasil yang diharapkan, yang dapat membantu penderita ialah psikoterapi suportif individual atau kelompok dan bimbingan yang praktis untuk mengembalikan penderita ke masyarakat.

Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain. Maksudnya agar penderita tidak mengasingkan diri karena jika ia menarik diri, ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Perlu juga diperhatikan lingkungannya.

5.Lobotomi Prefrontal
Dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan bila penderita sangat mengganggu lingkungannya.

SKIZOFRENIA

Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).

Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.

75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.

Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog.

Gejala

Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.

Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:

  1. Gejala-gejala Positif

Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.

  1. Gejala-gejala Negatif

Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktifitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).

Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia atau penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan skizofrenia pada grup ini sangat sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan stres post-traumatik. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.

Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.

Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-obatan terlarang seperti ganja, halusinogen atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala psikosis.

Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan penderita skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis.

Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh penderita skizofrenia. Keluarga perlu mendukung serta memotivasi penderita untuk sembuh. Kisah John Nash, doktor ilmu matematika dan pemenang hadiah Nobel 1994 yang mengilhami film A Beautiful Mind, membuktikan bahwa penderita skizofrenia bisa sembuh dan tetap berprestasi.

Anemia Defisiensi Besi (Fe)

Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah di dalam tubuh kurang dari normal, atau sel darah merah kurang mengandung hemoglobin. Hemoglobin, yaitu protein yang banyak mengandung zat besi dan menyebabkan warna merah pada darah, berfungsi membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh.

Ada beberapa jenis anemia, tetapi yang paling sering dijumpai adalah anemia defisiensi besi.

Pada anemia defisiensi besi, tubuh tidak mempunyai cukup zat besi untuk membentuk hemoglobin. Kurangnya hemoglobin menyebabkan oksigen yang mampu diantarkan oleh sel darah merah ke seluruh tubuh juga menjadi lebih sedikit.

Tubuh memperoleh zat besi dari makanan. Makanan yang banyak mengandung zat besi antara lain adalah daging dan kerang-kerangan, juga makanan dengan tambahan zat besi. Suplai zat besi yang cukup dan berkesinambungan sangat penting untuk membentuk hemoglobin dan sel darah merah yang normal.

Rendahnya kadar zat besi dalam tubuh setidaknya dapat disebabkan oleh tiga hal, antara lain :

  1. Perdarahan, baik karena suatu penyakit atau karena cedera.
  2. Makanan yang dimakan sehari-hari kurang mengandung zat besi.
  3. Zat besi yang dikonsumsi tidak mampu diserap oleh usus.

Anemia defisiensi besi juga dapat terjadi saat tubuh membutuhkan lebih banyak zat besi, misalnya selama kehamilan.

Gejala anemia defisiensi besi dapat ringan, sedang, bahkan berat. Pada kasus yang ringan, terkadang tidak timbul gejala. Sedangkan pada kasus yang berat dapat menyebabkan kelelahan atau kelemahan yang berlebihan. Anemia defisiensi besi yang berat juga dapat menyebabkan gangguan yang serius pada anak-anak atau wanita hamil.

Pada anak-anak dapat timbul bising jantung dan gangguan tumbuh kembang. Selain itu anak menjadi rentan terkena infeksi dan mengalami gangguan perilaku.

Pada wanita hamil, anemia defisiensi besi dapat meningkatkan risiko bayi lahir prematur atau lahir dengan berat badan rendah.

ANEMIA DEFISIENSI Fe

Pendahuluan:Definisi anemia: kadar hemoglobin (Hb) rendah, menurut Murray Longmore, dkk, (2007) dalam Oxford Handbook of Clinical Medicine 7th Edition sebesar <13,5>

Tipe anemia: (1) anemia mikrositik, (2) anemia normositik,(3) anemia makrositik,. Anemia defisiensi besi termasuk tipe anemia mikrositik.

Sinonim: iron-deficiency anaemia (IDA)

Penyebab: masukan besi dari makanan yang tidak cukup, kehilangan darah (misal pada kondisi: menorrhagia/menstruasi yang lama, perdarahan saluran pencernaan, muntah/berak darah, dll), infestasi (serbuan)/infeksi cacing, diare kronis (menahun), kurang gizi (berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi), latihan/olahraga yang berlebihan.

Gejala/Tanda: produktivitas dan prestasi kerja menurun. Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun (ini terjadi karena fungsi leukosit yang tidak normal). Pucat, sklera mata berwarna biru (dapat ditemukan pula pada bayi normal). Limpa teraba membesar pada 10-15% penderita. Terkadang pagofagia, yaitu keinginan untuk makan bahan yang tidak biasa, seperti: es, tanah. Bila kronis (menahun) dapat dijumpai: kuku sendok/spoon nail (kuku yang rapuh, lekuk, konkaf/cekung, dalam medis disebut: koilonychia), luka/borok di sudut bibir (angular cheilosis), radang di lidah dan ukuran lidah mengecil (atrophic glossitis).

Terapi: preparat besi (iron), misal: ferrous sulfate 200 mg setiap 8 jam, sampai Hb normal dan sekurang-kurangnya 3 bulan untuk mengisi kembali cadangan besi dalam tubuh.

Catatan: diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi. Sebanyak 14% wanita yang sedang menstruasi juga mengalami anemia defisiensi besi. Anemia ini merupakan penyakit darah yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Besi (Fe) yang berasal dari ASI diabsorpsi secara lebih efisien daripada yang berasal dari susu sapi. Untuk mencukupi kebutuhan besi (Fe), anak membutuhkan 8-10 mg perhari, sedangkan bayi cukup bulan 1 mg per Kg berat badan perhari. Teh, kopi, beras, kuning telur, kalsium, antasid, tetrasiklin dapat mengurangi penyerapan zat besi.

BATASAN

Anemia yg disebabkan kurangnya zat besi untuk sintesis hemoglobin.

PATOFISIOLOGI

Zat besi (Fe) diperlukan untuk pembuatan heme dan hemoglobin (Hb). Kekurangan Fe mengakibatkan kekurangan Hb. Walaupun pembuatan eritrosit juga menurun, tiap eritrosit mengandung Hb lebih sedikit dari pada biasa sehingga timbul anemia hipokromik mikrositik.

ETIOLOGI

Kekurangan Fe dapat terjadi bila :

· makanan tidak cukup mengandung Fe

· komposisi makanan tidak baik untuk penyerapan Fe (banyak sayuran, kurang daging)

· gangguan penyerapan Fe (penyakit usus, reseksi usus)

· kebutuhan Fe meningkat (pertumbuhan yang cepat, pada bayi dan adolesensi, kehamilan)

· perdarahan kronik atau berulang (epistaksis, hematemesis, ankilostomiasis).

EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini adalah ADB dan terutama mengenai bayi,anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama selain kekurangaan kalori protein, vitamin A dan yodium. Penelitian di Indonesia mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekita 30-40%, pada anak sekolah 25-35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita sebesar 55,5%. ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkan prestasi belajar di sekolah.

DIAGNOSIS

I. Anamnesis

1. Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :

· Kebutuhan meningkat secara fisiologis

· masa pertumbuhan yang cepat

· menstruasi

· infeksi kronis

-Kurangnya besi yang diserap

-asupan besi dari makanan tidak adekuat

-malabsorpsi besi

-Perdarahan

-Perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn, colitis ulserativa)

2. Pucat, lemah, lesu, gejala pika

II. Pemeriksaan fisis

· anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati

· stomatitis angularis, atrofi papil lidah

· ditemukan takikardi ,murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung

III. Pemeriksaan penunjang

· Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun

· Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik

· Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat , saturasi menurun

· Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat

· sumsum tulang : aktifitas eritropoitik meningkat

DIAGNOSIS BANDING

Anemia hipokromik mikrositik :

· Thalasemia (khususnya thallasemia minor) :

o Hb A2 meningkat

o Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun

· Anemia karena infeksi menahun :

o biasanya anemia normokromik normositik. Kadang-kadang terjadi anemia hipokromik mikrositik

o Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun

· Keracunan timah hitam (Pb)

    • terdapat gejala lain keracunan P
  • Anemia sideroblastik :
    • terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang
PENYULIT

Bila Hb sangat rendah dan keadaan ini berlangsung lama dapat terjadi payah jantung.

PENATALAKSANAAN

I.Medikamentosa

Pemberian preparat besi (ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat) dosis 4-6 mg besi elemental/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal.

Asam askorbat 100 mg/15 mg besi elemental (untuk meningkatkan absorbsi besi).

II. Bedah

Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum Meckel.

III. Suportif

Makanan gizi seimbang terutama yang mengandung kadar besi tinggi yang bersumber dari hewani (limfa,hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan)

IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya )

Ke sub bagian terkait dengan etiologi dan komplikasi (Gizi, Infeksi, Pulmonologi, Gastro-Hepatologi, Kardiologi )

PEMANTAUAN

I.Terapi
  1. Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu

2. Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat

3. Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastro-intestinal misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar diulu hati, nyeri abdomen dan mual. Gejala lain dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.

II. Tumbuh Kembang

1. Penimbangan berat badan setiap bulan

2. Perubahan tingkah laku

3. Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan konsultasi ke ahli psikologi

4. Aktifitas motorik

Langkah Promotif/Preventif

Upaya penanggulangan AKB diprioritaskan pada kelompok rawan yaitu BALITA,anak usia sekolah, ibu hamil dan menyusui, wanita usia subur termasuk remaja putri dan pekerja wanita. Upaya pencegahan efektif untuk menanggulangi AKB adalah dengan pola hidup sehat dan upaya-upaya pengendalian faktor penyebab dan predisposisi terjadinya AKB yaitu berupa penyuluhan kesehatan, memenuhi kebutuhan zat besi pada masa pertumbuhan cepat, infeksi kronis/berulang pemberantasan penyakit cacing dan fortifikasi besi.

Demam Tifoid (Thypoid Fever)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1,2,3

Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut.

Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob. Kuman ini mati pada suhu 56ºC dan pada keadaan kering. Di dalam air dapat bertahan hidup selama 4 minggu dan hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu.1

Epidemiologi

Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin Karibia dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 3002 sekitar 16 juta per tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan kematian. Di Indonesia prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Ada dua sumber penularan S.typhi : pasien yang menderita demam tifoid dan yang lebih sering dari carrier yaitu orang yang telah sembuh dari demam tifoid namun masih mengeksresikan S. typhi dalam tinja selama lebih dari satu tahun.2,3,4

Patogenesis

Infeksi S.typhi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus kemudian melalui pembuluh limfe masuk ke peredaran darah sampai di organ-organterutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian basil masuk kembali ke dalam darah ( bakteremia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin yang dieksresikan oleh basil S.typhi sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.1,4

Gejala Klinis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-14 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan lemas dan lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak bersemangat. Kemudian disusul gejala klinis, yaitu :1,2,3

1. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari. Pada minggu kedua penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

2. Gangguan saluran pencernaan

Pada penderita demam tifoid dapat ditemukan bibir kering, dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tounge) dengan pinggir yang hiperemis, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi,akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.

3. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak seberapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

Disamping gejala-gejala yang biasa ditemukan tersebut kadang-kadang ditemukan pula gejala lain berupa roseola pada punggung dan ekstremitas dan bradikardia pada anak besar.1

Relaps

Relaps atau kambuh merupakan keadaan berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Biasanya terjadi dalam minggu kedua setelah suhu badan normal kembali.1,4

Diagnosis

Menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak merupakan hal yang tidak mudah mengingat gejala dan tanda- tanda yang tidak khas.1 Diagnosis demam tifoid dapat dibuat dari anamnesis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran. Untuk memastikan diagnosis tersangka demam tifoid maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut :1,4

1. Darah tepi

- Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus.

- Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/uL.

- Limfositosis relatif dan anaeosinofilia pada permulaan sakit.

- Trombositopeni terutama pada demam tifoid berat.

2. Pemeriksaan serologi

- Serologi Widal : untuk membuat diagnosis yang diperlukan adalah titer terhadap antigen O dengan kenaikan titer 1/200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens.

- Kadar Ig M dan Ig G (Typhi-dot).

3. Biakan Salmonela

- Biakan darah terutama pada minggu I perjalanan penyakit.

- Kultur tinja terutama pada minggu II perjalanan penyakit.

Komplikasi

Dapat terjadi pada :1,4

1. Intestinal:

- Perdarahan usus. Bila perdarahan yang terjadi banyak dan berat dapat terjadi melena disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.

- Perforasi usus. Biasanya dapat timbul pada minggu ketiga atau lebih.

- Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tapi dapat juga tanpa perforasi usus dengan ditemukannya gejala abdomen akut, yaitu nyeri perutyang hebat, dinding abdomen tegang (defans musculair) dan nyeri tekan.

2. Diluar Intestinal

Pengobatan

a. Medikamentosa1,4

1. Antibiotik

- Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgBB/hari, oral atau iv, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari.

- Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, oral selama 10 hari.

- Kotrimoksazol 6 mg/kgBB/hari, oral. Dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari.

- Seftriakson 80 mg/kgBB/hari, iv atau im, sekali sehari selama 5 hari.

- Sefiksim 10 mg/kgBB/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari.

2. Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran.

- Deksametason 1-3 mg/kgBB/hari iv, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.

3. Antipiretik

b. Suportif1,4

- Tirah baring

- Isolasi yang memadai

- Kebutuhan cairan dan kalori yang cukup

- Diet rendah serat dan mudah dicerna

Prognosis1,4

Umumnya prognosis demam tifoid pada anak baik asal penderita cepat mendapat pengobatan. Prognosa menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat, seperti :

- Hiperpireksia atau febris kontinua.

- Kesadaran menurun.

- Malnutrisi.

- Terdapat kompliksi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonie, dll.

SIROSIS HATI

Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena infeksi akut dengan virus hepatitis dimana terjadi peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya banyak jaringan ikat dan regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang dibentuk oleh sel parenkim hati yang masih sehat. Akibatnya bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan.

Penyebab sirosis hati beragam. Selain disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B ataupun C, juga dapat diakibatkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan, berbagai macam penyakit metabolik, adanya gangguan imunologis , dan sebagainya. Di Indonesia, sirosis hati lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada perempuan.

Keluhan yang timbul umumnya tergantung apakah sirosisnya masih dini atau sudah fase dekompensasi. Selain itu apakah timbul kegagalan fungsi hati akibat proses hepatitis kronik aktif atau telah terjadi hipertensi portal. Bila masih dalam fase kompensasi sempurna maka sirosis kadangkala ditemukan pada waktu orang melakukan pemeriksaan kesehatan menyeluruh (general check-up) karena memang tidak ada keluhan sama sekali. Namun, bisa juga timbul keluhan yang tidak khas seperti merasa badan tidak sehat, kurang semangat untuk bekerja, rasa kembung, mual, mencret kadang sembelit, tidak selera makan, berat badan menurun, otot-otot melemah, dan rasa cepat lelah. Banyak atau sedikitnya keluhan yang timbul tergantung dari luasnya kerusakan parenkim hati. Bila timbul ikterus maka berhenti sedang terjadi kerusakan sel hati. Namun, jika sudah masuk ke dalam fase dekompensasi maka gejala yang timbul bertambah dengan gejala dari kegagalan fungsi hati dan adanya hipertensi portal.

Kegagalan fungsi hati menimbulkan keluhan seperti rasa lemah, turunya barat badan, kembung, dan mual. Kulit tubuh di bagian atas, muka, dan lengan atas akan bisa timbul bercak mirip laba-laba (*spider nevi). Telapak tangan bewarna merah (eritema palmaris), perut membuncit akibat penimbunan cairan secara abnormal di rongga perut (asites), rambut ketiak dan kemaluan yang jarang atau berkurang, buah zakar mengecil (atrofi testis), dan pembesaran payudara pada laki-laki. Bisa pula timbul hipoalbuminemia, pembengkakan pada tungkai bawah sekitar tulang (edema pretibial), dan gangguan pembekuan darah yang bermanifestasi sebagai peradangan gusi, mimisan, atau gangguan siklus haid. Kegagalan hati pada sirosis hati fase lanjut dapat menyebabkan gangguan kesadaran akibat encephalopathy hepatic atau koma hepatik.

Tekanan portal yang normal antara 5-10 mmHg. Pada hipertensi portal terjadi kenaikan tekanan dalam sistem portal yang lebih dari 15 mmHg dan bersifat menetap. Keadaan ini akan menyebabkan limpa membesar (splenomegali), pelebaran pembuluh darah kulit pada dinding perut disekitar pusar (caput medusae), pada dinding perut yang menandakan sudah terbentuknya sistem kolateral, wasir (hemoroid), dan penekanan pembuluh darah vena esofagus atau cardia (varices esofagus) yang dapat menimbulkan muntah darah (hematemesis), atau berak darah (melena). Kalau pendarahan yang keluar sangat banyak maka penderita bisa timbul syok (renjatan). Bila penyakit akan timbul asites, encephalopathy, dan perubahan ke arah kanker hati primer (hepatoma).

Diagnosa yang pasti ditegaskan secara mikroskopis dengan melakukan biopsi hati. Dengan pemeriksaan histipatologi dari sediaan jaringan hati dapat ditentukan keparahan dan kronisitas dari peradangan hatinya, mengetahui penyebab dari penyakit hati kronis, dan mendiagnosis apakah penyakitnya suatu keganasan ataukah hanya penyakit sistemik yang disertai pembesaran hati.

Pemeriksaan laboraturium pada sirosis hati meliputi hal-hal berikut.

1. Kadar Hb yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih menurun (leukopenia), dan trombositopenia.

2. Kenaikan SGOT, SGPT dan gamma GT akibat kebocoran dari sel-sel yang rusak. Namun, tidak meningkat pada sirosis inaktif.

3. Kadar albumin rendah. Terjadi bila kemampuan sel hati menurun.

4. Kadar kolinesterase (CHE) yang menurun kalau terjadi kerusakan sel hati.

5. masa protrombin yang memanjang menandakan penurunan fungsi hati.

6. pada sirosis fase lanjut, glukosa darah yang tinggi menandakan ketidakmampuan sel hati membentuk glikogen.

7. Pemeriksaan marker serologi petanda virus untuk menentukan penyebab sirosis hati seperti HBsAg, HBeAg, HBV-DNA, HCV-RNA, dan sebagainya.

8. Pemeriksaan alfa feto protein (AFP). Bila ininya terus meninggi atau >500-1.000 berarti telah terjadi transformasi ke arah keganasan yaitu terjadinya kanker hati primer (hepatoma).

Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain ultrasonografi (USG), pemeriksaan radiologi dengan menelan bubur barium untuk melihat varises esofagus, pemeriksaan esofagoskopi untuk melihat besar dan panjang varises serta sumber pendarahan, pemeriksaan sidikan hati dengan penyuntikan zat kontras, CT scan, angografi, dan endoscopic retrograde chlangiopancreatography (ERCP).

Pengobatan tergantung dari derajat kegagalan hati dan hipertensi portal. Bila hati masih dapat mengkompensasi kerusakan yang terjadi maka penderita dianjurkan untuk mengontrol penyakitnya secara teratur, istirahat yang cukup, dan melakukan diet sehari-hari yang tinggi kalori dan protein disertai lemak secukupnya. Dalam hal ini bila timbul komplikasi maka hal-hal berikut harus diperhatikan.

1. Pada ensefaopati pemasukan protein harus dikurangi. Lakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian kalium pada hipokalemia, pemberian antibiotik pada infeksi, dan lain-lain.

2. apabila timbul asites lanjut maka penderita perlu istirahat di tempat tidur. Konsumsi garam perlu dikurangi hingga kira-kira 0.5 g per hari dengan botol cairan yang masuk 1.5 1 per hari. Penderita diberi obat diureti distal yaitu Spronolakton 4×25 g per hari, yang dapat dinaikkan sampai dosis total 800 mg perhari. Bila perlu, penderita diberikan obat diuretik loop yaitu Furosemid dan dilakukan koreksi kadar albumin di dalam darah.

3. Pada pendarahan varises esofagus penderita memerlukan perawatan di rumah sakit.

4. Apabila timbul sindroma hepatorenal yaitu terjadinya gagal ginjal akut yang berjalan progresif pada penderita penyakit hati kronis dan umumnya disertai sirosis hati dengan asites maka perlu perawatan segera di rumah sakit. Keadaan ini ditandai dengan kadar urea yang tinggi di dalam darah (azotemia) dan air kencing yang keluar sangat sedikit (oliguria).

Sirosis Hati

Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar, dan seluruh struktur hati mengalami perubahan menjadi irregular, dan terbentuknya jaringan ikat (fibrosis) di sekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi. Secara fungsional sirosis hati dibagi atas 2 jenis, yang pertama adalah sirosis hati kompensata, dimana pada stadium ini belum terdapat gejala-gejala yang nyata (asimptomatis). Biasanya stadium ini ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan screening. Yang kedua adalah sirosis hati dekompensata, pada stadium ini gejala-gejala sudah sangat jelas, pasien merasa lemas, adanya asites, ikterus, dll.Pada stadium inilah pasien dibawa ke tempat pelayanan kesehatan atau ke Rumah Sakit.

I. Epidemiologi Sirosis

Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada laki-laki jika dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6:1, dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun, dengan puncaknya sekitar umur 40-49 tahun.

II. Patofisiologi

Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab dan kejadian, kejadian tersebut dapat terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis atau perlukaan hati yang terus menerus yang terjadi pada peminum alcohol aktif. Hati kemudian merespon kerusakan sel tersebut dengan membentuk ekstraselular matriks yang mengandung kolagen, glikoprotein, dan proteoglikans. Sel stellata berperan dalam membentuk ekstraselular matriks ini. Pada cedera yang akut sel stellata membentuk kembali ekstraselular matriks ini sehingga ditemukan pembengkakan pada hati. Namun, ada beberapa parakrine faktor yang menyebabkan sel stellata menjadi sel penghasil kolagen. Faktor parakrine ini mungkin dilepaskan oleh hepatocytes, sel Kupffer, dan endotel sinusoid sebagai respon terhadap cedera berkepanjangan. Sebagai contoh peningkatan kadar sitokin transforming growth facto beta 1 (TGF-beta1) ditemukan pada pasien dengan Hepatitis C kronis dan pasien sirosis. TGF-beta1 kemudian mengaktivasi sel stellata untuk memproduksi kolagen tipe 1 dan pada akhirnya ukuran hati menyusut

Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya ukuran dari fenestra endotel hepatic menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti endotel kapiler) dari sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi kolagen mengalami kontraksi yang cukup besar untuk menekan daerah perisinusoidal Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata inilah yang menyebabkan penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu proses aliran darah ke sel hati dan pada akhirnya sel hati mati, kematian hepatocytes dalam jumlah yang besar akan menyebabkan banyaknya fungsi hati yang rusak sehingga menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari vena pada hati akan dapat menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan utama penyebab terjadinya manifestasi klinis.

III. Etiologi Sirosis

Sirosis dapat disebabkan oleh banyak keadaan, termasuk radang kronis berkepanjangan, racun, infeksi, dan penyakit jantung. Di Amerika sendiri penyebab sirosis hepatic mulai dari yang paring sering

a. Hepatitis C (26%)

b. Alcoholic Liver Disease (21%)

c. Penyebab Cryptogenik/Tidak diketahui (18%)

d. Hepatitis C + Alkohol (15%)

e. Hepatitis B (15%)

f. Lain-lain (5%)

IV. Gejala dan Tanda

Pada kasus dengan Sirosis Hati Kompensata, pasien tidak mempunyai keluhan yang terlalu berarti selain dari cepat merasa lelah dan nafsu makan yang menurun tidak begitu signifikan. Beda halnya dengan pasien pada stadium dekompensata, dimana sudah timbul banyak gejala yang membuat pasien tidak berdaya akibat hati gagal mengkompensasi akumulasi kerusakan yang dialaminya. Berikut gejala-gejala umum beserta dengan penjelasan patomekanismenya.

IV.1. Hipertensi Portal

Hati yang normal mempunyai kemampuan untuk mengakomodasi perubahan pada aliran darah portal tanpa harus meningkatkan tekanan portal. Hipertensi portal terjadi oleh adanya kombinasi dari peningkatan aliran balik vena portal dan peningkatan tahanan pada aliran darah portal.

Meningkatnya tahanan pada area sinusoidal vascular disebabkan oleh faktor tetap dan faktor dinamis. Dua per tiga dari tahanan vaskuler intrahepatis disebabkan oleh perubahan menetap pada arsitektur hati. Perubahan tersebut seperti terbentuknya nodul dan produksi kolagen yang diaktivasi oleh sel stellata. Kolagen pada akhirnya berdeposit dalam daerah perisinusoidal.

Faktor dinamis yang mempengaruhi tahanan vaskular portal adalah adanya kontraksi dari sel stellata yang berada disisi sel endothellial. Nitric oxide diproduksi oleh endotel untuk mengatur vasodilatasi dan vasokonstriksi. Pada sirosis terjadi penurunan produksi lokal dari nitric oxide sehingga menyebabkan kontraksi sel stellata sehingga terjadi vasokonstriksi dari sinusoid hepar.

Hepatic venous pressure gradient (HVPG) merupakan selisih tekanan antara vena portal dan tekanan pada vena cava inferior. HVPG normal berada pada 3-6 mm Hg. Pada tekanan diatas 8 mmHg dapat menyebabkan terjadinya asites. Dan HVPG diatas 12 mmHg dapat menyebabkan munculnya varises pada organ terdekat. Tingginya tekanan darah portal merupakan salah satu predisposisi terjadinya peningkatan resiko pada perdarahan varises utamanya pada esophagus.

IV.2. Edema dan Asites

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hati mempunyai peranan besar dalam memproduksi protein plasma yang beredar di dalam pembuluh darah, keberadaan protein plasma terutama albumin untuk menjaga tekanan onkotik yaitu dengan mejaga volume plasma dan mempertahankan tekanan koloid osmotic dari plasma. Akibat menurunnya tekanan onkotik maka cairan dari vaskuler mengalami ekstravasasi dan mengakibatkan deposit cairan yang menumpuk di perifer dan keadaan ini disebut edema.

Akibat dari berubahnya tekanan osmotic di dalam vaskuler, pasien dengan sirosis hepatis dekompensata mengalami peningkatan aliran limfatik hepatik. Akibat terjadinya penurunan onkotik dari vaskuler terjadi peningkatan tekanan sinusoidal Meningkatnya tekanan sinusoidal yang berkembang pada hipertensi portal membuat peningkatan cairan masuk kedalam perisinusoidal dan kemudian masuk ke dalam pembuluh limfe. Namun pada saat keadaan ini melampaui kemampuan dari duktus thosis dan cisterna chyli, cairan keluar ke insterstitial hati. Cairan yang berada pada kapsul hati dapat menyebrang keluar memasuki kavum peritonium dan hal inilah yang mengakibatkan asites. Karena adanya cairan pada peritoneum dapat menyebabkan infeksi spontan sehingga dapat memunculkan spontaneus bacterial peritonitis yang dapat mengancam nyawa pasien

IV.3 Hepatorenal Syndrome

Sindrome ini memperlihatkan disfungsi berlanjut dari ginjal yang diobsrevasi pada pasien dengan sirosis dan disebabkan oleh adanya vasokonstriksi dari arteri besar dan kecil ginjal dan akibat berlangsungnya perfusi ginjal yang tidak sempurna.kadar dari agen vasokonstriktor meningkat pada pasien dengan sirosis, temasuk hormon angiotensin, antidiuretik, dan norepinephrine.

IV.4. Hepatic Encephalopathy

Ada 2 teori yang menyebutkan bagaimana perjalanan sirosis heatis menjadi ensephalopathy, teori pertama menyebutkan adanya kegagalan hati memecah amino, teori kedua menyebutkan gamma aminobutiric acid (GABA) yang beredar sampai ke darah di otak.

Amonia diproduksi di saluran cerna oleh degradasi bakteri terhadap zat seperti amino, asam amino, purinm dan urea. Secara normal ammonia ini dipecah kembali menjadi urea di hati, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Pada penyakit hati atau porosystemic shunting, kadar ammonia pada pembuluh darah portal tidak secara efisien diubah menjadi urea. Sehingga peningkatann kadar dari ammonia ini dapat memasuki sirkulasi pembuluh darah.

Ammonia mempunyai beberapa efek neurotoksik, termasuk mengganggu transit asam amino, air, dan elektrolit ke membrane neuronal. Ammonia juga dapat mengganggu pembentukan potensial eksitatory dan inhibitory. Sehingga pada derajat yang ringan, peningkatan ammonia dapat mengganggu kosentrasi penderita, dan pada derajat yang lebih berat dapat sampai membuat pasien mengalami koma.

IV.5. Gejala-gejala lainnya

Pada pasien dengan sirosis hepatis dekompensata, sangat banyak gejala yang muncul diakibatkan hati mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan sehingga jika peranan ini terganggu maka akan banyak timbul abnormalitas dalam kehidupan seorang penderita.

Adanya proses glikogenolisis dan glukoneogenesis pada hati membuat seseorang tetap mempunyai cadangan energi dan energi apabila seseorang tidak makan, namun pada pasien sirosis hepatis, kedua proses ini tidak berlangsung sempurna sehingga pasien mudah lelah dan pada keadaan yang lebih berat pasien bahkan tidak dapat melakukan aktivitas ringan.

Karena hati mempunyai peranan dalam memecah obat, sehingga pada sirosis hepatis, ditemukan sensitivitas terhadap obat semakin menigkat, efek samping obat lebih menonjol dariada implikasi medisnya sehingga pada penderita sirosis hepatis, pemilihan obat harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

Pada pasien sirosis juga ditemukan perdarahan spontan akibat adanya kekurangan faktor faktor pembekuan yang diproduksi di hati. Memar juga dapat terjadi akibat kekurangan faktor-faktor ini.

Perdarahan esofagus juga ditemukan karena adanya peningkatan tekanan vena portal sehingga darah memberikan jalur cadangan pada pembuluh darah sekitar untuk sampai ke jantung, maka darah melalui pembuluh darah oesofagus, karena pembuluh darah ini kecil maka gesekan akibat makanan yang normalnya tidak memberikan luka pada orang biasa membuat varises ini pecah sehingga timbul darah. Darah ini dapat saja keluar melalui muntahan darah atau juga dapat melalui tinja yang berwarna ter (hematemesis melena).

Hati juga mempunyai peranan dalam endokrin, sehingga sirosis dapat memperlihatkan manifestasi endokrin seperti pada wanita terdapat kelainan siklus menstruasi dan pada laki-laki ditemukan gynecomastia dan pembengkakan skrotum.

V. Diagnosis

Diagnosis pada penderita suspek sirosis hati dekompensata tidak begitu sulit, gabungan dari kumpulan gejala yang dialami pasien dan tanda yang diperoleh dari pemeriksaan fisis sudah cukup mengarahkan kita pada diagnosis. Namun jika dirasakan diagnosis masih belum pasti, maka USG Abdomen dan tes-tes laboratorium dapat membantu

Pada pemeriksaan fisis, kita dapat menemukan adanya pembesaran hati dan terasa keras, namun pada stadium yang lebih lanjut hati justru mengecil dan tidak teraba. Untuk memeriksa derajat asites dapat menggunakan tes-tes puddle sign, shifting dullness, atau fluid wave. Tanda-tanda klinis lainnya yang dapat ditemukan pada sirosis yaitu, spider telangiekstasis (Suatu lesi vaskular ang dikelilingi vena-vena kecil), eritema palmaris (warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan), caput medusa, foetor hepatikum (bau yang khas pada penderita sirosis), dan ikterus

Tes laboratorium juga dapat digunakan untuk membantu diagnosis, Fungsi hati kita dapat menilainya dengan memeriksa kadar aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, serum albumin, prothrombin time, dan bilirubin. Serum glutamil oksaloasetat (SGOT) dan serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak begitu tinggi dan juga tidak spesifik.

Pemeriksaan radiologis seperti USG Abdomen, sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya noninvasif dan mudah dilakukan. Pemeriksaan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan noduler, permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien sirosis.

Dari diagnosis sirosis ini kita dapat menilai derajat beratnya sirosis dengan menggunakan klasifikasi Child Pugh.

Tabel I. Klasifikasi Child Pugh

Derajat Kerusakan

Minimal

Sedang

Berat

Satuan

Bilirubin (total)

<35>

35-50

>50 (>3)

μmol/l (mg/dL)

Serum albumin

>35

30-35

<30

g/L

Nutrisi

Sempurna

Mudah dikontrol

Sulit terkontrol

-

Ascites

Nihil

Dapat terkendali dengan pengobatan

Tidak dapat terkendali

-

Hepatic encephalopathy

Nihil

minimal

Berat/koma

-

VI. Penatalaksanaan

Kebanyakan penatalaksaan ditujukan untuk meminimalisir komplikasi yang disebabkan oleh sirosis mengingat sirosis merupakan kerusakan hati yang ireversibel sehingga untuk memperbaiki struktur hati sepertinya tidak dapat dilakukan.

Pengobatan firosis hati pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa yang akan datang, menempatkan sel stellata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Interferon mempunyai aktifitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stellata bisa merupakan suatu pilihan.

Asites diterapi dengan tirah baring total dan diawali dengan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gr atau 90mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diureitk. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1kg/hari bila edema kaki ditemukan. Bila pemberian spironolaktine belum adequat maka bisa dikombinasi dengan furosemide dengan dosis 20-40 mg/hari. Parasintesis dilakukan jika jumlah asites sangat besar.

Pada pasien dengan adanya ensefalopati hepatik dapat digunakan laktulosa untuk mengeluarkan amonia dan neomisin dapat digunakan untuk mengeliminasi bakteri usus penghasil amonia.

Untuk perdarahan esofagus pada sebelum dan sesudah berdarah dapat diberikan propanolol. Waktu pendarahan akut, dapat diberikan preparat somatostatin atau okreotid dan dapat diteruskan dengan tindakan ligasi endoskopi atau skleroterapi.

VII. Prognosis

Prognosis sirosis hati sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyait lain yang menyertai. Klasifikasi Child Pugh, juga dapat digunakan untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi.